cerpen tentang perjuangan ditengah virus corona

              Lukisan satu tangan

Seseorang menarikku menjauh dari keramaian. Hingga hingar bingar yang menyayat telinga kurun waktu menyusut terlahap asa. Masih gelap. Belum juga ada secercak cahaya yang mampu menembus lensa mataku. Masih sama seperti hari hari sebelumnya . Dunia hanya dipenuhi dengan satu warna saja. Hitam . Siapa yang menarik tanganku saja aku belum mengetahuinya. Aku masih menangis. Sama seperti diriku yang tadi terduduk di pinggiran jalan. Sendiri. Tak tau juga adakah mata iba yang menatapku seperti tanpa arah ini.
Tangan itu menarikku ke bawah. Memintaku untuk duduk, aku hanya menurut saja. Tak tau juga apa yang akan terjadi setelah ini. Akankah aku akan dijual atau diperbudak seperti cerita-cerita almarhum ibu dulu? Atau aku justru akan menemukan secercah cahaya yang selama ini kucari?
"Mbak kenapa menangis?" Sebuah suara muncul tepat disamping tubuhku yang terduduk, sepertinya seorang yang menarik tanganku tadi. Dari suaranya, seorang tadi tampaknya seorang perempuan yang seumuran dengan diriku. Dan tiba-tiba perempuan itu memasangkan seutas kain yang menutup hidung sekaligus mulutku. Aku merabanya berlahan, "Mbak harus jaga diri, nggak boleh dikeramaian, waspada Mbak! Sedang ada wabah yang mengancam negara kita!" Lanjut perempuan tersebut.
Setelahnya, perempuan itu mengelus kepalaku berlahan, dan menyibakkan anak rambutku yang usil menutup mata dengan satu tangannya. Ya, hanya dengan satu tangannya.
                                   ##
Seorang perempuan buta memeluk gadis kecil yang menangis di pelukannya. Bukan tangisan penyesalan ataukah kesedihan yang terpancar dari mata mereka, melainkan tangisan kebahagiaan yang tak bisa mereka gambarkan melalui ucapan, hanya itu yang dapat mereka lakukan. Bersimpuh tasbih dibawah naungan Ilahi atas segala nikmat yang mereka dapatkan, dan atas segala kebahagiaan yang kembali dengan beribu kali lipatan. Mereka tak dapat menggambarkannya, karena seluas apa dunia ini saja perempuan itu tak dapat melihatnya. Tapi, cercak cahaya yang muncul di hatinya jauh lebih indah dari itu semua.
                                ##
Kuakui aku sangat bahagia menemukan kembali adek tercintaku setelah sebulan yang lalu aku kehilangan dirinya dari pelukanku. Septa, satu satunya keluarga yang kumiliki setelah kejadian kebakaran yang telah merenggut nyawa ayah dan ibu dua tahun yabg lalu. Juga kedua mataku yang saat ini telah berhenti memanjakanku dengan pemandangan indah diseluruh hamparan bumi ini. Aku memang belum bisa menjadi kakak yang baik untuk Septa, diusia belajarnya dia justru harus membantuku bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami, karena jika hanya diriku yang bertumpu dengan tongkat kayu ini yang mencari rezeki pastilah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami berdua setiap harinya. Septa bekerja sebagai penjaja koran di jalanan. Aku tak memintanya bekerja, tapi dia memaksa untuk membantu. Jadi dengan alasan apalah aku dapat menolak tawarannya, jika pekerjaanku saja hanya sebagai buruh cuci keliling?
Hingga suatu saat, riuh redam kompleks kami mulai terdengar mengenai pembatasan masyarakat untuk keluar dari area tempat tinggalnya atau social distancing untuk memutus rantai penularan sebuah virus yang saat ini tersebar. Covid-19 kurasa. Aku tak langsung mendengarnya dari berita televisi atau radio. Yang benar saja, kita tak punya semua itu. Septa yang menceritakan semua padaku setelah mendengar berita dari tetangga. Tapi kabar ini sama sekali tak ada pengaruhnya denganku. Begitu juga Septa, kami tetap melakukan aktivitas kami bekerja seperti biasa. Karena kami tahu, dari situlah kami mencari sesuap nasi. Dan dari situ pula tanpa aku sadari, aku hampir saja kehilangan satu-satunya harta yang kumiliki, Septa.
                                  ##
Malam semakin mengarung ke puncaknya, tapi Septa belum juga berlayar diantara mimpi-mimpinya. Bocah kelas V SD itu badanya panas sekali. Tanganku merambat ke kamat mandi dan membawa segayung air untuk mengompres dahinya. Dia menggigil dan nafasnya terlihat tidak teratur, aku sangat panik, akhirnya aku menyeduh jahe hangat dan meminumkan berlahan padanya. Hingga kurasa keadaannya mulai membaik dan iapun bisa tertidur.
Esoknya suhu badan Septa mulai menurun tapi nafasnya belum juga membaik. Kurasa ia akan flu. Tapi semua dugaanku seketika hancur ketika segerombol warga datang dan menyeret Septa keluar dari kompleks kami. Para warga membawa Septa untuk diisolasi di rumah sakit, setelah dinyatakan positif terpapar virus Corona. Meninggalkanku sendiri. Di gubuk tua ini. Sendiri. Sungguh tak tega aku mendengar suara tangis dan jerit Septa, tapi para warga meyakinkanku bahwa ini adalah jalan yang terbaik untuk diriku dan dirinya. Oleh karenanya, biarkan pula aku menangis di selang tangis Septa yang semakin tak mampu kurengkuh wajah teduhnya.
                                     ##
"Kakak? Apakah kakak punya seorang teman perempuan cantik yang bersuara lembut?" tanya Septa setelah melepas pelukannya dariku.
"Teman perempuan? Siapa dia?" Tanyaku seolah-olah berpikir.
"Iya kak. Seorang perempuan yang menemani Septa di rumah sakit. Dia nggak takut-takut ngrawat Septa, Kak. Trus katanya dia dititipi kado ulang tahun Septa dari kakak" celoteh Septa sumringah. "Makasih ya, Kak! Kakak dapet uang dari mana bisa beli lukisan secantik itu buat Septa?" Tanya Septa sambil kembali memeluk tubuhku.
"Dia merawatmu, Dek?"
"Iya, Kak. 60% kakak itu yang buat Septa nggak patah semangat. Kakak itu selalu ngasih Septa motivasi".
Tuhan! Dengan cara apapun Kau memang selalu bisa mewujudkan impianku. Termasuk untuk menjaga dan membahagiakan adik teercintaku. Meski semua tak langsung terlahir dari tanganku.
"Kakak tau? Yang lukis itu temen kakak sendiri Lo, bagus banget! Meskipun dia lukisnya cuma pakek satu tangan".
"Maksud kamu?" Tanyaku tercengang.
"Loh Kakak nggak tau? Kakak itukan cuma punya satu tangan kiri. Tapi bener-bener nggak ngurangi kecantikannya Lo, Kak!"
"Iya. Juga cantik hatinya, Dek". Aku mengelus rambut Septa berlahan. "Septa? Kamu tau dimana kakak itu sekarang?" Tanyaku kemudian.
"Enggak tau, Kak! Kemarin, dua hari sebelum hasil lab Septa dinyatakan sembuh, kakak itu udah nggak njenguk Septa lagi" jelasnya bersedih, "Eh! Andai kakak bisa lihat lukisannya, pasti kakak bakal terpesona banget!" Ucap Septa girang.
Bibirku seketika bergetar dan tanganku kembali bergerak mengelus rambut lurus Septa. "Septa, meski mata Kakak nggak bisa melihat seberapa indah lukisan itu, Kakak bisa tau seberapa indah pelukis lukisan itu melukiskan keagungan, kenikmatan dan anugrah Tuhan yang tak pernah terputus pada hamba-hamba-Nya, pelukis itu yang mengajarkan semuanya pada kakak. Tuhan selalu punya cara untuk mengembalikan hambanya agar kembali pada jalan-Nya. Dan Tuhan selalu lebih tau mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Tuhan tidak pernah tidur, Septa. Tidak pernah".
                                  ##
Ya Tuhan! Biarkan sisa waktuku ini kupersembahkan pada dua saudara yang tak berdosa ini. Yang belum ternoda bagai ricuhnya jalan raya. Yang belum terbengkalai bagai bangunan-bangunan tua. Biarkan satu tangan ini mampu membuka secercak cahaya yang sebelumnya saja tak mampu menembus bilik matanya. Tapi Ridhoi aku Tuhan. Bukalah hati kecilnya agar ia bisa menikmati seberapa indah dan agung kuasa-Mu. Paru-paru kecilku telah lelah untukku sendiri. Kurasa pneumonia ini juga sudah terlalu menyatu dengan bilik bilik alveoli ini. Jadi, biarkan lisan ini mampu menggerakkan harap untuk paru-paru yang lain. Ya Rabb! Sembuhkan bumi ini, karena masih ada banyak diantara sangat banyak makhluk-Mu yang masih mencari jati diri atas kuasa-Mu. Hadirkan kembali tawa diantara mereka dan hapus setetes air mata yang tak kunjung menyurut dari bendungan mata sayunya. Dari semua makhluk-Mu yang sangat mengagungkan seberapa besar keagungan-Mu. 
                   ##

hastag#tag#cerpen#ceritapendek#wabah#perjuangan#wanita#covid19#dirumahaja#corona#bahasaindonesia#kakakberadik

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

puisi tentang berlangsungnya pendidikan di tengah virus corona